DAFTAR ISI:
Perluasan Hukum Ketujuh
“Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” Matius 5:27-28
Penulis dan konselor alkitabiah Jim Logan membantah mitos yang mengatakan bahwa kebiasaan seksual “pribadi” seperti pornografi tidak berbahaya karena tidak ada orang lain yang terlibat.
Banyak orang yang mempercayai argumen palsu dan berbahaya ini. Logan mengutip Kitab Suci dan contoh-contoh orang yang melakukannya menunjukkan bahwa itu dapat berdampak buruk pada kerohanian, pernikahan dan hubungan keluarga seseorang.
Yesus mengetahui kerusakan batin yang dapat dilakukan oleh nafsu. Dia mengetahui cara kerja hati manusia karena Dia adalah Allah (lihat Mazmur 139).
Di ayat ini Yesus memperingatkan dengan keras tentang bahaya nafsu dan betapa seriusnya pandangan Allah terhadapnya.
Maka pada contoh kedua tentang bagaimana Yesus menafsirkan hukum, bergerak dari perintah keenam ke ketujuh dan memperluas arti perzinahan.
Karena itu Yesus kataka, “Kamu telah mendengar, jangan berzinah..” Ini perintah ketujuh dari 10 hukum, yang bicara kesucian pernikahan.
Menurut hukum Yahudi, disebut perzinahan bila telah terjadi hubungan seksual dengan yang bukan pasangannya. Dan itu mereka dengar para pemimpin agama dan telah menjadi pandangan umum.
Perilaku itu dikutuk karena “mengambil” istri orang lain dan itu dianggap sebagai penggunaan harta orang lain secara tidak sah!
Pada zaman Musa dosa itu sangat serius, “Bila seorang laki-laki berzinah dengan isteri orang lain, yakni berzinah dengan isteri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun perempuan yang berzinah itu.”
Tetapi Yesus menentang “pandangan umum itu” dan menaikkan batasan dosa seksual, bukan hanya tindakan eksternal (perilkau) tetapi juga pemikiran internal (pikiran).
Karena itu Yesus katakan, “Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.”
“Memandang” yang Yesus sebutkan bukanlah pandangan sekilas, melainkan tatapan terus-menerus dengan tujuan nafsu.
Dalam Bahasa Yunani (Blepo) menggambarkan seseorang terus-menerus melihat (pandangan “penuh nafsu” pada saat itu).
Tidak semua memandang itu salah. Karena bisa saja seorang pria melirik wanita cantik dan mengetahui bahwa wanita itu cantik, tetapi bukan nafsu dan tidak ada keinginan memiliki.
Jadi, memandang perempuan yang Yesus maksudkan adalah untuk tujuan memuaskan selera sensual batinnya sebagai pengganti tindaka.
Dimulai dari pandangan sekilas, menjadi tatapan yang benar-benar dipenuhi nafsu. Bukan hanya memandang, tetapi juga mengingini. Karena pikiran zina akan mengarah pada tindakan zina secara terbuka.
Bukan pandangan penuh nafsu yang menyebabkan dosa di dalam hati, tetapi dosa dalam hati yang menyebabkan pandangan penuh nafsu.
Pandangan penuh nafsu hanyalah ekspresi hati yang sudah tidak bermoral dan berzina. Hati adalah tanah tempat benih dosa tertanam dan mulai tumbuh.
Jadi, memandang perempuan (laki-laki), yang bukan istri/suaminya, dengan tatapan terus menerus penuh nafsu dan mengingini, Yesus katakan, “berzinah dengan dia di dalam hatinya.”
Karena itu perbuatan zinah dan zinah dalam hati, keduanya adalah dosa, dan keduanya dilarang oleh perintah yang melarang perzinahan.
Sebagian orang hanya menjauhi zina karena takut ketahuan, dan dalam hati mereka berzina setiap hari. Kita harus menjaga diri dari keduanya, berbuat zinah dan berpikir zinah.
Bagaimana caranya? Nasehat Paulus baik untuk diikuti:
“Hari sudah jauh malam, telah hampir siang. Sebab itu marilah kita menanggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan dan mengenakan perlengkapan senjata terang!
Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati.
Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.” Roma 13:12-14.
————————-
Cungkil Mata, Penggal Tangan
“Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka.
Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka.” Matius 5:29-30
Setelah Yesus menjelaskan perluasan dari hukum ke 7 tentang perzinahan di ayat 28, kemudian dilanjutkan dengan dua ayat berikutnya di ayat 29-30 yaitu tentang mencungkil mata kanan dan memenggal tangan kanan jika kedua anggota tubuh itu menyesatkan.
Apa maksud Yesus dengan pernyataan radikal seperti ini? Apakah mereka harus mencungkil bola mata mereka dan memotong tangan mereka? Jawabannya, Tidak.
Alasan yang Yesus berikan adalah bahwa lebih baik kehilangan salah satu bagian tubuh, daripada seluruh tubuh masuk ke neraka.
Yesus tidak berbicara secara harfiah tetapi secara kiasan.
Kedua ayat ini menggunakan bahasa hiperbola untuk menggarisbawahi tentang beratnya ajaran Yesus tentang nafsu dalam Matius 5:28.
Di ayat ini dikatakan, “Jika mata kanan menyesatkan..” dan “Jika Tangan kanan menyesatkan..” Mata dan tangan merupakan sarana yang melaluinya pikiran penuh nafsu awalnya muncul dan selanjutnya dilaksanakan.
Kata, “menyesatkan..” dari kata Yunani yaitu ‘skandalizo dari skandalon’ artinya pasang jerat atau batu sandungan di jalan. Dalam bahasa Inggris disebut skandal.
Maksud Yesus adalah bahwa apa pun atau siapa pun yang secara moral menjebak kita (oleh indera, penglihatan, sentuhan, dll), dan menyebabkan kita jatuh ke dalam dosa harus dilenyapkan, secara radikal dan cepat.
Jika kita tidak melakukan segala upaya yang diperlukan untuk mengendalikan lingkungan kita, apa yang kita tonton dan baca, dengan siapa kita bergaul dan berbicara, dll, maka hal-hal itu akan mengendalikan kita.
Misalnya, orang yang sudah menikah, lalu jatuh cinta dengan seseorang selain pasangannya adalah salah.
Hubungan itu mungkin saling menyenangkan dan dianggap bermanfaat, memuaskan, dan indah. Tapi itu sama sekali berdosa dan harus segera diputuskan.
Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu. Kalimat cungkil dan buang, adalah kalimat perintah, yang menyerukan tindakan segera.
Dia berbicara tentang membuat pilihan yang lebih baik. Setiap pilihan memiliki konsekuensi. Menyingkirkan nafsu dan godaan berarti kehilangan kenikmatan sementara.
Tetapi lebih baik kehilangan kesenangan sesaat itu daripada menderita akibat dosa.
Lakukan sekarang! Jangan ragu atau menunda! Tangani secara radikal apa pun yang membuat kita cenderung berbuat dosa!
Kita harus cepat dan kejam berurusan dengan diri kita sendiri dan tidak mendorong imajinasi untuk fantasi nafsu batin, keinginan batin yang dapat dengan cepat mengarah pada dosa perzinahan fisik yang merusak.
Satu-satunya cara untuk membunuh dosa sebelum dosa itu membunuh kita adalah dengan bersandar pada Roh Kudus.
Dia dapat memberi kita keinginan dan kekuatan untuk membunuh dosa, “ jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup.” Roma 8:13.
Oleh karena itu jangan biarkan dosa berkuasa dalam diri kita.
Ketika mata kita menatap benda-benda berdosa, kita berada diluar panggilan dan pemeliharaan Tuhan.
Artinya, jika matamu atau tanganmu berfungsi sebagai penghalang atau jebakan untuk menjerat atau membuatmu jatuh dalam perjalanan moralmu, maka ambil tindakan radikal.
Poin yang ingin ditekankan adalah dosa harus dihindari bahkan jika ada pengorbanan radikal diperlukan.
Nafsu harus dikendalikan dengan sangat serius karena dapat menyebabkan seseorang di campakkan ke neraka. (Ayat 29).
“Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka.
Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka.” Matius 5:29-30
——————–
Cerai Mati
“Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.” Matius 5:31-32.
Selain perluasan makna hukum keenam dan ketujuh, Yesus juga meluruskan tentang hukum perceraian.
Hukum yang berlaku sebelumnya adalah seseorang dapat menceraikan istrinya hanya karena masalah sepele, dan untuk melindungi hak perempuan maka dia harus memberikan surat cerai.
Tetapi hukum ini bukan dari TUhan. Yesus mengatakan, itu karena kekerasan hati mereka .
“Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?” Kata Yesus kepada mereka: “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian.” Matius 19:7-8.
Ayat ini mengacu pada Ulangan 24:1-4, yang dalam konteks aslinya melarang seorang laki-laki untuk menikah lagi dengan perempuan yang sebelumnya telah dinikahinya dan diceraikannya, jika wanita itu kemudian menikah dengan laki-laki lain yang telah meninggal atau menceraikannya.
Perincian Ulangan yang paling relevan dengan pandangan perceraian pada masa itu ternyata adalah adanya dokumen hukum tertulis (Ul. 24:1, 3).
Rupanya, banyak guru pada zaman Yesus menganggap perikop ini sebagai kekuasaan penuh untuk perceraian.
Inti dari masalah ini terletak pada penafsiran kata ketidaksenonohan di Ulangan 24:1. Dalam semua masalah hukum Yahudi ada dua rabi-rabi sekolah yang menjadi rujukan yaitu Shammai dan hillel.
Shammai sekolah yang ketat, keras dan sekolah Hillel sekolah liberal, berpikiran luas. sekolah kerabian Hillel (abad pertama SM) mengijinkan seorang pria untuk menceraikan istrinya karena alasan apa pun, bahkan makanan yang gosong.
Sementara sekolah Shammai menafsirkan ulangan 24:1 dengan perilaku seksual tidak senonoh. Ketidaksenonohan sebagai ketidaksucian.
Bagi sekolah Shammai, sekalipun seorang istri nakalnya seperti istri Ahab, dia tidak bisa diceraikan kecuali karena perzinahan.
Pandangan Yesus tentang perceraian ternyata mirip dengan Rabi Shammai (abad pertama SM).
Menurut Yesus, seorang pria yang menceraikan istrinya karena alasan apa pun selain perselingkuhan seksual menyebabkan dia dan pasangannya melakukan perzinahan.
Pada waktu Allah membentuk Lembaga pernikahan, tidak ada opsi perceraian. Setelah dosa masuk, ada perceraian, tetapi hanya karena kematian.
Karena banyaknya orang yang bercerai bukan karena kematian, maka Yesus menegaskan perceraian dimungkinkan kalau seorang pasangan berzinah.
Jadi hanya ada dua alasan bercerai: Kematian dan Perzinahan. Lain dari itu tidak boleh. Kalau memaksakan diri bercerai diluar alasan diatas, maka hubungan itu adalah perzinahan.
Melakukan perzinahan berarti tidak setia pada sumpah pernikahan yang telah diikrarkan. Berbicara tentang hubungan seksual dengan seseorang yang bukan istri atau suaminya.
Karena itu, ini dari masalah yang sedang Yesus bicarakan adalah hati. Hati selalu menjadi masalah dan dalam Matius 19, Yesus berkata tentang pengerasan hati.
Karena sejak awal penciptaan Adam dan Hawa, rancangan Allah adalah bahwa pernikahan adalah perjanjian yang permanen dan dijamin oleh Tuhan.
Pernikahan adalah lembaga Ilahi bukan Lembaga manusia. Maka disini Yesus membawa pikiran orang-orang kembali kepada penciptaan pernikahan di Eden.
“Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Ay. 6)
Pada pertemuan dengan Bimas Kristen hari senin yang lalu, dilaporkan se DIY ada 500 perceraian pasangan Kristen. Belum lagi ditempat lain. Termasuk juga perceraian dikalangan non Kristen, menunjukkan angka yang sangat tinggi.
Setan bekerja keras merusak pernikahan, dengan mendegradasi Lembaga Ilahi menjadi Lembaga manusia. Itu sebabnya sangat mudah orang menggugat kepengadilan untuk bercerai.
Pernikahan adalah perjanjian iman, karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi.
Pernikahan tidak sepenuhnya tanpa konflik. Komitmen total kepada pasangan Anda tidak menghilangkan kemungkinan ketegangan, air mata, perselisihan, ketidaksabaran, dan konflik. Itu adalah kabar buruk.
Tetapi kabar baiknya adalah bahwa oleh kasih karunia Allah, tidak ada konflik perkawinan yang tidak ada solusinya.
Untuk menjalani pernikahan sebagai perjanjian suci, maka kita harus bersedia untuk melakukan komitmen total, eksklusif, berkelanjutan dan berkembang.
Ketika kita berkomitmen, menghormati komitmen itu melalui kasih karunia Allah, kita dapat setia sampai kematian memisahkan. Dan kita akan mengerti apa artinya satu daging.
Untuk Pendalaman Ulangan 24:1-4 Baca: Bercerai dan Menikah Kembali dalam Ulangan 24:1
——————–
Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan.
Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah takhta Allah…Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat. Matius 5:33-37.
Yesus selanjutnya beralih ke topik membuat janji atau sumpah. Mereka telah mendengar yang disampaikan kepada nenek moyang, Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan.’
Penyebutan nenek moyang mungkin periode Perjanjian Lama secara umum. Yesus membahas praktik membuat sumpah yang sudah berlangsung lama.
Dasar untuk ini adalah perintah kesembilan adalah “Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu” (Keluaran 20:16, Ulangan 5:20).
Yesus melarang bersumpah atau berjanji demi sesuatu. Orang biasanya bersumpah demi hal-hal yang bertahan lama sebagai cara untuk menambah bobot pada sumpah mereka.
Karena itu mereka bersumpah demi langit, bumi, Yerusalem, kepala sendiri, dll.
Misalnya, jika seseorang bersumpah demi langit, mereka sedang mengatakan bahwa “selama langit ini ada, saya akan melakukan apa yang saya janjikan kepada Anda.”
Supaya sumpah kelihatan kuat banyak diantara mereka besumpah demi nama Tuhan.
Tentang ini Tuhan berkata, “Janganlah kamu bersumpah dusta demi nama-Ku, supaya engkau jangan melanggar kekudusan nama Allahmu; Akulah TUHAN.” Imamat 19:2.
Dari ayat ini jelaslah bahwa Tuhan menganggap nama-Nya sangat serius. Siapa pun yang melanggar sumpah yang mereka yang dibuat diatas nama Tuhan akan menghadapi hukuman dari masyarakat, tetapi juga harus bertanggung jawab di hadapan Tuhan.
Untuk menghindari hal itu, maka orang membuat sumpah bukan demi nama Tuhan tetapi demi surga, atau demi bumi, atau demi Yerusalem, dll.
Sumpah seperti itu mereka buat, ketika mereka mengingkari sumpahnya, dalam hal ini mereka akan berdalih, bahwa sumpah itu tidak harus ditepati karena sumpah itu tidak dibuat demi nama Tuhan.
Pada zaman Yesus pengambilan sumpah telah berubah menjadi sistem yang menunjukkan kapan seseorang bisa berbohong dan kapan tidak.
Yesus menegaskan bahwa sumpah apa pun yang dibuat seseorang demi nama Tuhan harus dipatuhi.
Selain itu Yesus juga menyalahkan sumpah demi kepala sendiri. Disini Yesus sedang memancing logika atau akal sehat kita. Bagaimana kita bisa mengendalikan hidup kita?
Bahkan kita tidak bisa mengubah warna rambut kita. Bahkan rambut kepala kita semuanya berada di bawah kekuasaan dan kepemilikan Tuhan.
Oleh karena itu, bersumpah demi kepala sama mengikatnya dengan sumpah menggunakan nama Tuhan tertentu.
Sumpah dari kata Omnua (yun) artinya meneguhkan kebenaran dengan menyeru kepada makhluk ilahi untuk menjatuhkan sanksi terhadap seseorang jika pernyataan yang bersangkutan tidak benar.
Poin yang ingin disampaikan Yesus adalah jika ada perselisihan tidak perlu bersumpah demi apapun untuk meyakinkan orang. Cukup katakan kebenaran Ya atau Tidak.
Saat itu, sumpah itu menjadi hal yang biasa termasuk untuk perkataan-perkataan sederhana.
Bagi mereka, sumpah yang mengikat itu kalau mengandung nama Tuhan. Tetapi setiap sumpah yang tidak menggunakan nama Tuhan dianggap tidak mengikat.
Maka orang sembarangan membuat sumpah baik dengan nama Tuhan atau tidak sama sekali.
Maka sebenarnnya yang ideal adalah bahwa seseorang seharusnya tidak perlu bersumpah untuk menopang atau menjamin kebenaran dari apa pun yang dia katakan.
Jaminan dan kesaksiannya harus terletak pada dirinya sendiri. Pada karakternya sendiri.
Sehubungan dengan ini Yesus mau mengatakan bahwa orang yang benar-benar baik tidak akan perlu mengambil sumpah.
Kebenaran perkataannya dan kenyataan janjinya tidak memerlukan Sumpah untuk menjamin kata-katanya benar.
Karena itu Yesus menegaskan bahwa kita harus menjadikan diri kita sedemikian rupa sehingga orang-orang akan melihat kebaikan kita yang transparan sehingga mereka tidak akan pernah meminta sumpah dari kita.
Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat. Matius 5:37.
Itu tidak bermakna ganda. Itu tunggal. Itu putih dan hitam. Tidak abu-abu.
Jadi, apakah boleh bersumpah? Jawaban Yesus adalah tidak. Jangan bersumpah demi apapun. Tunjukkan kebenaranmu dari karaktermu. Katakan YA dan katakan TIDAK. (Matius 5:33-37).
Orang yang percaya Firman Tuhan harus menjadi orang yang bisa dipercaya.
——————–
Mata Ganti Mata
“Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.
Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu.” Matius 5:38-42.
Setelah menjelaskan masalah sumpah dan kejujuran dalam hal kebenaran (harmoni sosial), Yesus membahas tentang pembalasan pribadi atas kesalahan yang dilakukan terhadap seseorang terhadap mereka.
Hukum Musa ‘Mata ganti mata, dan gigi ganti gigi’ adalah prinsip yang dianggap adil untuk membalas kesalahan.
Yesus mengutip hukum Perjanjian Lama, “mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak.” Keluaran 21:24-25.
“Apabila seseorang membuat orang sesamanya bercacat, maka seperti yang telah dilakukannya, begitulah harus dilakukan kepadanya: patah ganti patah, mata ganti mata, gigi ganti gigi; seperti dibuatnya orang lain bercacat, begitulah harus dibuat kepadanya.” Imamat 24:19-20.
Hukum ini mencerminkan prinsip lex talionis, (lex = hukum + talionis = pembalasan = secara harfiah “hukum pembalasan”
Tuhan memberikan hukum ini melalui Musa sebagai standar ganti rugi untuk mencegah balas dendam yang berlebihan, yang merusak keharmonisan sosial di dalam bangsa Israel.
Hukuman untuk perbuatan salah harus sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan. Kehilangan gigi bukanlah kehilangan yang parah.
Pelanggaran kecil harus mendapat hukuman kecil, gigi ganti gigi. Kehilangan mata adalah kerugian yang parah.
Pelanggaran berat harus mendapat hukuman berat, mata ganti mata. Prinsipnya terbawa ke masyarakat modern saat ini yaitu “hukuman harus sesuai dengan kejahatan”
Ini adalah prinsip keadilan yang menuntut hukuman yang setara dengan pelanggaran (tidak lebih besar dari pelanggaran, seperti yang sering diberikan pada zaman kuno).
Hukum pembalasan, tidak dimaksudkan untuk mendorong balas dendam pribadi, tetapi untuk melindungi pelaku dari hukuman yang lebih berat daripada pelanggaran yang dibenarkan.
Yesus melarang untuk membalas dendam dan sebaliknya menuntut kebaikan positif dalam menghadapi kejahatan. Yesus melarang siklus balas dendam yang tidak pernah berakhir.
Keadilan dan pemulihan itu penting, tetapi itu harus diterapkan oleh aturan Tuhan dan bukan oleh korban. Tuhan berkata “Pembalasan adalah milikku” (Ulangan 32:35).
Yesus kemudian memberikan empat contoh tentang prinsip belas kasihan yang menuntun pada kesalehan, keharmonisan, dan kehidupan, di ayat 39-42.
Contoh pertama melibatkan penghinaan. Siapapun yang menampar pipi kananmu, berikan juga pipi kirimu.
Menampar wajah seseorang adalah penghinaan yang menyengat. Reaksi alami adalah menampar balik.
Tetapi Yesus memberi tahu para murid-Nya untuk menunjukkan belas kasihan dan tidak membalas. Penerapannya adalah, “Jangan pernah bereaksi ketika seseorang melakukan sesuatu yang menyinggung Anda.”
Amsal berkata, “Jikalau seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga, berilah dia minum air. Karena engkau akan menimbun bara api di atas kepalanya, dan TUHAN akan membalas itu kepadamu.” Amsal 25:21-22.
Disini Yesus mengajarkan, kita tidak boleh membalas penghinaan.
Contoh kedua melibatkan tuntutan hukum. Jika ada yang ingin menuntut Anda dan mengambil baju mu, biarkan dia juga mengambil jubahmu.
Daripada memperkarakan dan menjadi musuh, jadikan mereka teman, dengan memberi apa yang mereka tuntut dan tambahkan sesuatu yang lain sebagai tindakan yang baik.
Dalam kasus ini mungkin mereka telah dirugikan, maka Yesus menggunakan kalimat, “hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu.”
Karena tidak mungkin mereka menuntut kalau tidak benar. Disini Yesus berbicara tentang membawa keharmonisan ke dalam hubungan dan keterlibatan antar tetangga.
Contoh ketiga melibatkan tugas dan kebiasaan. Siapapun yang memaksamu berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersamanya sejauh dua mil.
Yesus memberi tahu murid-murid-Nya bahwa setiap kali seorang pejabat Romawi memaksa untuk pergi sejauh satu mil, pergi lah bersamanya sejauh dua mil.
Itu menunjukkan kesediaan untuk melayani orang lain. Ini melatih hati kita untuk menghargai orang lain dan menghormati otoritas.
Contoh keempat melibatkan seorang tetangga yang meminta untuk meminjam. Yesus berkata, “janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu.”
Jika ada yang meminta darimu maka berikanlah kepadanya. Berikan dengan rela, tanpa rasa pahit. Yesus menasihati murid-murid-Nya untuk memiliki hati yang mencari yang terbaik bagi orang lain. Memperlakukan orang lain dengan murah hati.
Semua sikap Ini bukan respon alami! Itu adalah tanggapan supranatural yang mewakili karya Roh Allah di dalam hati yang dikendalikan oleh roh yang lembut.
Murid-murid Yesus tidak hanya mengikuti hukum dan menegaskan hak hukum mereka, tetapi juga memastikan setiap orang mendapatkan haknya.
Pengikut Yesus harus mencari kesempatan untuk melayani, memberi, dan berbagi dengan sesama mereka.
Tujuan menyeluruh dari tindakan kita haruslah keharmonisan sosial (kebenaran) daripada mencari kepentingan sendiri. Murid-muridnya harus mencintai, dan mencari manfaat sejati bagi orang lain dan komunitas kita.
——————-
Mengapa Mencintai Musuh?
“Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” Matius 5:43-45
Ajaran berikutnya yang mereka dengar adalah “Kasihi sesamamu dan benci musuhmu.. “ ini standar manusia.
Tetapi Yesus menegakkan standar yang lebih tinggi dan lebih luas yaitu, “Kasihi musuhmu dan berdoa bagi mereka yang menganiaya kamu.” Ini adalah standar Allah.
Perintah PL untuk mengasihi sesamamu ini berasal dari Imamat 19:18, dan ditafsirkan oleh orang Yahudi hanya berlaku untuk sesama orang Israel, bukan untuk orang asing.
Kata “sesama” dari kata pleison. Dalam Bahasa inggris adalah “Neighbor atau tetangga.” secara harfiah berarti dekat, cukup dekat.
Secara kiasan, plesion berarti berada di dekat seseorang dan dengan demikian menjadi tetangga.
Karena itu maksud Yesus dengan “sesama” adalah setiap orang yang “dekat” (plesion), dan setiap orang yang kita jumpai dalam hidup.
Perjanjian Lama memperluas arti “sesama atau tetangga” mencakup bangsa atau suku. Ini juga diuraikan Yesus dalam perumpamaan tentang Orang Samaria yang Baik Hati (Lukas 10:29).
Standar yang ditegakkan oleh orang Yahudi dengan hanya mengasihi yang sebangsa, sesuku atau hanya orang yang baik dengan kita, sekarang dirombak oleh Yesus.
Musuh tidak boleh dibenci, termasuk orang yang menganiaya atau merugikan kita. Sebaliknya mereka harus dikasihi dan didoakan.
Musuh dari kata Echthros mengacu pada mereka yang tindakan dan kata-katanya menunjukkan kebencian, permusuhan atau pertengkaran terhadap kita.
Seperti mertua yang menolak untuk berbicara dengan Anda, rekan kerja yang mencoba membuat Anda dipecat, silahkan tambahkan lagi..
Dalam hal ini kita mungkin menjadi sasaran permusuhan, dibenci atau dianggap sebagai musuh oleh orang lain.
Kasihilah musuhmu, ini perkara sulit. Kasih yang dimaksud disini adalah kasih agape. Yaitu kasih Tuhan yang tanpa pamrih.
Jenis kasih ini tidak lahir dari kasih sayang manusia tetapi kasih ilahi, dihasilkan oleh hati yang berserah kepada bisikan Roh Kudus.
Kasih agape tidak peduli kita dikasihi atau tidak, akan tetap mengasihi. Ini jenis kasih yang mengorbankan diri.
Dalam hal ini ada yang kita korbankan, yaitu ego diri. Kita berubah menjadi rendah hati dan memperlakukan mereka dengan baik.
Pertama, supaya kita menjadi anak Bapa, dimana melalui kasih itu, kita dapat mengungkapkan kasih Bapa.
Kasih Bapa untuk semua, baik orang jahat dan orang baik. Dia “Menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Matius 5:45). “
Ia tidak membalas kita setimpal dengan dosa kita, dan tidak membalas setimpal dengan kesalahan kita” (Mazmur 103:10).
Dengan tidak mengasihi musuh dan berdoa bagi mereka, kita mencerminkan karakter Kristus.
Kedua adalah hati orang Kristen puas dengan Tuhan dan tidak didorong oleh keinginan untuk membalas dendam atau meninggikan diri.
Tuhan telah menjadi harta kita yang paling memuaskan dan karenanya kita tidak memperlakukan musuh kita dengan cara yang sama.
Ada keyakinan yang mendalam bahwa dunia ini bukan rumah kita, dan bahwa Tuhan adalah upah kita yang benar-benar pasti dan memuaskan.
Jadi dari kedua alasan untuk mencintai musuh, kita melihat hal yang utama: Tuhan diperlihatkan sebagai siapa Dia sebenarnya sebagai Tuhan yang penuh belas kasihan dan sebagai pemuasan yang maha mulia.
Alasan utama untuk berbelaskasihan adalah untuk memuliakan Tuhan, supaya karakter Tuhan diperlihatkan melalui kita.
————————
Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?
Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian?” Matius 5:46-47
Yesus berkata bahwa kita harus mengasihi musuh kita karena itu menunjukkan bahwa kita mengasihi seperti Allah mengasihi musuh-Nya (Roma 5:6, 8, 10).
Di sini Yesus menambahkan bahwa ketika kita mengasihi seperti Allah, kasih seperti itu membedakan kita dari cara dunia mengasihi.
Tetapi jika kita hanya mengasihi orang yang mengasihi dan baik sama kita, itu normal dan tidak ada yang luar biasa disana.
Karena orang jahat pun melakukan hal yang sama yaitu mengasihi orang yang mengasihi mereka. Bila hanya mengasihi orang yang mengasihi kita, Yesus bertanya, apakah upahmu?
Disini, Yesus mengajukan empat pertanyaan retoris yang disusun sebagai sebuah enthymeme. Anthymeme adalah argumen di mana satu premis (alasan) tidak dinyatakan secara terus terang.
Enthymeme membiarkan pendengar secara aktif memecahkan masalah logis alih-alih secara pasif diberi tahu setiap bagian.
Untuk entimeme pertama, Yesus bertanya, Karena jika kamu mengasihi mereka yang mengasihimu, apa upahmu?
Bukankah pemungut pajak juga melakukan hal yang sama? Entimeme yang disimpulkan dapat dinyatakan sebagai:
Premis 1: Semua kita menginginkan upah (tidak dinyatakan),
Premis 2: Dan kita tidak mendapatkan upah dari Tuhan kecuali kita mengasihi musuh kita,
Kesimpulan: Karena itu kita harus mengasihi musuh kita.
Pemungut cukai adalah orang Israel yang tidak setia yang disewa oleh orang Romawi untuk mengenakan pajak kepada orang Yahudi lain demi keuntungan pribadi. Mereka benar-benar dibenci oleh kebanyakan orang Yahudi.
Yesus melihat bahwa orang-orang yang dianggap rendahan ini cukup memahami kepentingan pribadi mereka untuk bersikap baik kepada orang-orang yang baik kepada mereka.
jika kita hanya mengasihii mereka yang mengasihi kita, dan pemungut cukai yang dibenci itu melakukan hal yang sama, maka kita tidak lebih baik dari pemungut cukai yang dibenci itu.
Kita hanya menerima upah dari orang tersebut.
Tetapi, jika kita menginginkan pahala dari Tuhan, kita harus melampaui perilaku para pemungut cukai.
Jika pandangan kita tentang kasih murni transaksional, maka kita hanya akan menerima manfaat sebesar jumlah kasih yang kita berikan kepada orang lain.
Dengan kata lain, kasih seperti ini dan balasannya seperti air. Mereka tidak akan pernah naik lebih tinggi dari sumbernya.
Yesus ingin kita mempertimbangkan kasih menurut ekonomi kerajaan-Nya yang jauh lebih besar baik dalam persediaan maupun upahnya daripada ekonomi dunia.
Yesus ingin para murid-Nya memperoleh upah yang besar, upah yang kekal yang tidak berkarat atau lapuk (Matius 6:19-20). Mengasihi musuh kita adalah jalan menuju upah itu.
Yesus mengulangi bentuk enthymeme yang sama ketika Dia secara retoris bertanya, Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian?
Di mata kaum Zelot dan banyak pemimpin agama, orang bukan Yahudi (Romawi) bahkan lebih buruk daripada pemungut cukai.
Sekali lagi jika kamu hanya menyapa sesama saudara Yahudi, apa kelebihanya dengan orang Romawi lainnya (yang hanya menyapa orang Romawi lainnya).
Bahkan orang bukan Yahudi melakukan itu. Karena itu, kasihmu tidak lebih baik dari kasih orang bukan Yahudi yang malang.
Oleh karena itu, jika ingin mendapatkan pahala dari Allah, hendaknya kita menyapa mereka yang bukan saudara.
Orang Kristen adalah orang yang berada di atas, dan melampaui, manusia alami.
Mengasihi orang yang mengasihi kita itu biasa, mengasihi dan berdoa untuk orang yang jahat kepada kita, itu baru luar biasa.
————————–
Mengejar Kesempurnaan
“Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” Matius 5:48
Sangat tinggi tuntutan Allah kepada kita. Standar yang ditentukan adalah sempurna seperti Bapa Sorgawi?
Mungkinkah kita dapat memenuhi standar tersebut? Yesus tidak menyatakan itu kalau manusia tidak bisa mencapainya.
Yesus meringkas semua yang telah Dia ajarkan antara Matius 5:20 dan 5:47 dengan kata penutup ini: Karena itu kamu harus sempurna, seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna.
Dia mengkontraskan pembenaran diri secara lahiriah dari para ahli Taurat dan orang Farisi dalam ay. 20 dengan pembenaran yang lengkap dan sempurna dari Bapa surgawi kita.
Di Matius 5:20, Yesus mengungkapkan standar perilaku untuk memasuki kerajaan surga minimal melampaui hidup ahli taurat dan orang farisi:
“Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.”
Kebenaran orang-orang Farisi secara lahiriah mentereng, tetapi kenyataannya mereka adalah kuburan bercat putih yang penuh dengan daging dan tulang yang membusuk (Matius 23:27).
Jadi tampaknya menghindari kemunafikan adalah titik awal untuk memasuki kerajaan.
Di sini Yesus menyatakan standar perilaku dalam hal tindakan. Untuk masuk sorga kita tidak bisa menjadi seperti dunia, atau bahkan berpura-pura menjadi orang benar seperti orang Farisi.
Kita harus sempurna, seperti Bapa surgawi kita sempurna.
Kata, karena itu, menunjukkan perlunya menghidupkan hal-hal yang baru saja dijelaskan oleh Yesus, terutama perlunya mencintai musuh dan bahkan berdoa untuk mereka, dll.
Karena itu, haruslah kamu sempurna, menunjukkan sikap dan motif batiniahlah bukan tindakan lahiriah saja. Manusia mungkin melihat penampilan luarnya, tetapi Tuhan melihat hati (1 Sam. 16:7).
Sempurna dari kata “telos” Itu berarti terpenuhi dan lengkap, berfungsi penuh, atau selesai. Kata ini diserukan oleh Yesus di kayu salib ketika Dia menyatakan, “Sudah selesai” (Yohanes 19:30).
Yesus berkata bahwa kita harus hidup dan memiliki tingkat atau derajat keharmonisan (kebenaran) yang sama dengan Bapa surgawi kita.
Kita harus lengkap dalam perjalanan kita. Untuk menjadi utuh. Bagian dari menjadi utuh adalah mencari keharmonisan dengan sekeliling kita, dalam kebenaran dan rahmat.
Melawan dunia dan kejahatannya dengan mencintai orang. Seperti yang akan kita lihat, orang sering tidak memahami Yesus.
Yesus akan disalibkan karena sempurna, atau lengkap. Dia dengan berani mengungkap kemunafikan dan kerusakan elit politik dan agama.
Dia juga berbaur dengan pemungut pajak dan orang berdosa, sambil menasihati mereka untuk bertobat.
Ia memanggil murid-murid-Nya untuk menghayati karakter dan kualitas keutuhan moral. Kita harus menjadi apa yang Pencipta kita inginkan dan hidup serta memenuhi rancangan dan tujuan-Nya bagi kita.
Jika kita berhasrat untuk mendapatkan upah, kita harus menjadi seperti Bapa surgawi kita. Kita harus mencerminkan gambar-Nya.
Karena Tuhan itu sempurna, mereka yang ingin menjadi anak-anak Allah harus bergerak menuju standar-Nya yang sempurna.
Mengejar standar kesempurnaan Allah bukan berarti kita tidak akan pernah gagal. Kita mungkin gagal, tetapi kita harus terus berjalan kearah tersebut.
Jika hidup kita tidak menunjukkan pertumbuhan dalam kasih karunia dan kebenaran dan kekudusan, kita perlu memeriksa realitas iman kita.
Tuhan tidak puas dengan sesuatu yang kurang dari kesempurnaan mutlak. Seberapa baik seseorang harus berdiri di hadirat Allah? Dia harus sebaik Tuhan.
“Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”
Bisakah kita sempurna seperti Tuhan? Pasti bisa.
Sempurna dalam kasih, seperti Tuhan mengasihi kita.
“Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus.” Filipi 1:6
Tidak ada komentar