
Catatan Alkitab menunjukkan bahwa, perceraian tidak dilembagakan oleh Tuhan. Tidak ada indikasi dalam Alkitab yang menunjukkan bahwa Allah memperkenalkan dan melembagakan perceraian setelah Kejatuhan sebagai bagian dari tatanan-Nya bagi masyarakat manusia.
Perceraian adalah “buatan manusia,” bukan ditetapkan secara ilahi. Perceraian merupakan penolakan manusia terhadap rencana Allah yang semula untuk ikatan pernikahan yang tak terpisahkan.
Pernikahan yang dibangun oleh Allah tidak ada opsi perceraian. Setelah berdosa ada perpisahan karena kematian.
“Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Matius 19:6
Kemudian hari perceraian diijinkan selain kematian yaitu perzinahan.
“Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.” Matius 19:6.
Tetapi perzinahan bukan menjadi alasan bercerai. Jika pasangan yang bersalah bertobat, maka dia harus diterima Kembali untuk keutuhan pernikahan. Segala sesuatu harus diusahakan untuk mencegah perceraian.
Dalam Alkitab perceraian terjadi karena “kekerasan” hati manusia, Musa “mengizinkan” perceraian (Mat. 19:8).
Mengizinkan suatu praktik tidak sama dengan melembagakannya. Ketika perceraian pertama kali muncul di dalam Alkitab, praktiknya sudah ada.
Apa yang Allah lakukan melalui Musa adalah mengatur perceraian untuk mencegah penyalahgunaannya.
Ini tidak berarti bahwa Tuhan mengedipkan mata pada perceraian. Sebaliknya, Allah mengakui keberadaannya dan mengaturnya untuk mencegah situasi yang buruk menjadi lebih buruk.
Pada masa sebelum Musa, perceraian merupakan hal yang umum di antara bangsa-bangsa kafir.
Seorang pria bisa menceraikan pasangannya dengan alasan apa pun hanya dengan mengatakan kepadanya di hadapan para saksi, “Kamu bukan lagi istriku.”
Istri yang diceraikan tidak punya pilihan lain selain meninggalkan rumahnya dengan hanya membawa sedikit barang yang bisa ia bawa di punggungnya.
Itu sebabnya mengapa para wanita mengenakan semua cincin, perhiasan, dan koin di tubuh mereka, karena semua itu merupakan sumber keuangan jika terjadi perceraian.
Mudahnya bercerai menjadi umum terhadi dikalangan orang Israel, apalagi tidak ada aturan yang membatasinya.
Para pria menceraikan istri mereka untuk ‘berselingkuh di akhir pekan’ dan kemudian mengambilnya kembali ketika cucian kotor telah menumpuk dan rumah perlu dibersihkan.
Situasi inilah yang menyebabkan turunnya hukum yang terdapat dalam Ulangan 24:1-4.
Perhatian utama dari hukum ini adalah untuk mencegah perceraian yang terburu-buru dengan mencegah pernikahan kembali setelah perceraian.
Hukum ini mengandung tiga elemen: (1) alasan-alasan untuk bercerai (Ul. 24:1a), (2) proses perceraian (Ul. 24:1b), dan (3) akibat dari perceraian (Ul. 24:2-4).
“Apabila seorang laki-laki mengambil seorang istri dan menikahinya, jika kemudian istri itu tidak berkenan di matanya karena ia menemukan sesuatu yang tidak senonoh pada istrinya, lalu ia menulis surat cerai kepadanya…” (Ul. 24:1a).
Perhatikan bahwa hukum tidak mengatur atau menganjurkan perceraian. Hukum ini hanya mengasumsikan tindakan yang akan diambil oleh seorang suami jika ia menemukan “ketidaksenonohan pada istrinya.”
Jadi, Perceraian tidak dilembagakan oleh Musa, dan juga tidak disetujui sebagai hak intrinsik suami.
Ulangan 24:1-4 menunjukkan bahwa Musa berusaha untuk mengekang kejahatan perceraian dengan mengharuskan suami untuk memberikan surat cerai kepada istrinya untuk melindunginya setelah menikah dengan pria lain.
Konsesi Musa tidak mengubah rencana awal Allah untuk menjadikan pernikahan sebagai perjanjian yang sakral dan permanen.
Hal ini hanya memberikan perlindungan bagi istri yang diceraikan ketika hati yang berdosa melanggar rencana awal Allah untuk pernikahan.
Setelah masa penawan berakhir Di Babilon, banyak orang Yahudi yang kembali dengan menikahi wanita-wanita kafir yang tidak percaya yang tinggal di tanah Yehuda.
Pernikahan itu dilarang keras oleh hukum Musa karena pasti akan mengarah pada penyembahan kepada ilah-ilah kafir (Ul. 7:1-4; Hak. 3:5-6; 1 Raja-raja 11:1-8).
Masalah ini dihadapi langsung oleh Ezra (Ezr. 10:2-3) dan kemudian oleh Nehemia (Neh. 13:23-24) selama masa jabatan mereka sebagai gubernur.
Mereka memerintahkan para pelanggar untuk berpisah dengan istri-istri asing mereka (Ezra 10:10-11; Neh. 13:30).
Karena itu muncul nabi Maleaki untuk mengungkapkan penyebab kemerosotan mereka dan memulihkan persekutuan mereka dengan Tuhan.
Selain dosa pengabaian persepuluhan (Mal. 3:7-9) dan kawin campur (Mal. 2:10-12), salah satu dosa yang disingkapkan Maleaki adalah dosa perceraian.
“..Sebab Aku membenci perceraian, demikianlah firman TUHAN, Allah Israel, dan menutupi pakaian dengan kekerasan, demikianlah firman TUHAN semesta alam. Sebab itu jagalah dirimu dan janganlah kamu tidak setia'” (Mal. 2:13-16).
Dalam bagian ini, Maleakhi (yang namanya berarti “utusan-Ku”) dengan jelas mengidentifikasi dan mengutuk dosa yang menyebabkan Allah menolak persembahan dan penyembahan umat-Nya, yaitu pelanggaran perjanjian pernikahan dengan istri yang diambil pada masa muda untuk menikahi wanita penyembah berhala asing.
Di sini Maleakhi memberitahukan bahwa Allah memandang pernikahan sebagai perjanjian suci yang mengikat dua orang dalam hubungan yang permanen di hadapan Allah (Kej. 31:50; Ams. 2:17).
Karena “Tuhan adalah saksi dari perjanjian [pernikahan] itu,” maka melanggarnya dengan menceraikan istri berarti tidak setia tidak hanya kepada pasangan tetapi juga kepada Tuhan.
Dengan kata lain, Allah bermaksud agar pernikahan menjadi ikatan perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita agar mereka dapat membangun keturunan yang saleh.
Maka, perceraian tidak hanya mengancam institusi pernikahan tetapi juga keamanan yang dibutuhkan untuk membesarkan keluarga yang saleh.
Dalam ayat 16, Maleakhi menyimpulkan dengan mengungkapkan sikap Tuhan terhadap perceraian:
“Sebab Aku membenci perceraian, demikianlah firman TUHAN, Allah Israel, dan menanggalkan pakaian dengan kekerasan, demikianlah firman TUHAN semesta alam. Sebab itu jagalah dirimu dan janganlah kamu tidak setia.”
Patut dicatat bahwa Tuhan membenci perceraian dan bukan orang yang bercerai. Sebagai orang Kristen, kita harus mencerminkan sikap Kristus yang penuh perhatian dan belas kasihan kepada mereka yang mengalami trauma perceraian.
Kristus dengan penuh kasih sayang berurusan dengan perempuan Samaria yang telah menikah lima kali (Yohanes 4:6-26).
Perceraian diibaratkan seperti “menutupi pakaian seseorang dengan kekerasan”. Ini kiasan, yang merujuk pada kebiasaan membentangkan pakaian perlindungan kepada seorang wanita oleh seorang pria yang ingin menikahinya (Rut 3:9; Ezr. 16:8).
Orang-orang Yahudi yang telah menceraikan istri-istri mereka telah bertindak curang, dengan membentangkan pakaian kekerasan dan bukannya pakaian perlindungan.
Maleakhi menutup dengan mengulangi permohonannya untuk setia kepada perjanjian pernikahan:
“Karena itu jagalah dirimu dan janganlah kamu tidak setia” (Mal. 2:16).
Tiga kali dalam empat ayat (13-16), Maleakhi berbicara tentang dosa perceraian sebagai ketidaksetiaan atau, seperti yang diterjemahkan oleh NASV, “pengkhianatan”.
Maleakhi dengan tegas menekankan bahwa perceraian tidak hanya melanggar rencana awal Allah bagi pernikahan tetapi juga perjanjian pernikahan yang sakral di mana Tuhan sendiri menjadi saksinya.
Perceraian adalah dosa besar yang dibenci Tuhan karena hal ini merupakan pengkhianatan terhadap pasangan hidupnya.
Pengkhianatan sangat mempengaruhi kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Yesus menjawab pertanyaan orang-orang Farisi tentang perceraian. “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?”
Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?” Matius 19:3-4
Orang farisi menjadi pendukung utama mudahnya bercerai. Mereka dikenal karena sering menceraikan istri mereka karena alasan apa pun untuk menikahi wanita lain..
Dan mereka mengajarkan bahwa praktik tersebut tidak hanya diperbolehkan tetapi terkadang wajib.
Disisi lain terdapat golongan rabi yaitu shammai, yang tetap mempertahankan pendiriannya bahwa perceraian tidak pernah diperbolehkan dengan alasan apa pun.
Pandangan mereka sangat keras dan sempit. Bertentangan dengan pandangan farisi yang liberal. Ekstrim dan Liberal.
Yang mewakili pandangan Farisi liberal adalah Rabi Hillel, yang meninggal sekitar dua puluh tahun sebelum Yesus memulai pelayanan-Nya.
Dia mengajarkan bahwa seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya karena alasan yang sangat remeh, misalnya karena mencukur rambutnya di depan umum..
Atau karena berbicara dengan laki-laki lain dan bahkan karena membakar roti atau memasukkan terlalu banyak garam ke dalam makanan.
Bagi Rabi Hille, berbicara buruk tentang ibu mertuanya atau mandul, sudah lebih dari cukup sebagai alasan untuk bercerai.
Nah, orang farisi ini adalah penganut ajaran Hilel. Dan mereka tahu bahwa Yesus tidak setuju dengan pandangan liberal mereka tentang perceraian.
Yesus menjawab berdasarkan apa yang tertulis dari Alkitab.
“Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?..”
Jawaban ini membuat Dia tidak memihak antara pandangan Shammai yang keras dan Hilel yang liberal.
Jelas, Yesus melarang perceraian kecuali karena perzinahan.
Sikap Paulus tentang perceraian tertulis dalam 1 Korintus 7:10. Ia memulai pasal ini dengan menetapkan beberapa prinsip umum tentang pernikahan.
Untuk menghindari godaan percabulan, “..Baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri.” (1 Kor. 7:2).
Baik suami maupun istri harus memenuhi hak-hak suami-istri masing-masing (1 Kor 7:3-5). Mereka yang tidak menikah dan para janda yang memiliki karunia membujang harus tetap membujang seperti dirinya sendiri (1 Kor. 7:7-8).
Selanjutnya Paulus membahas tiga situasi perceraian yang berbeda: (1) perceraian antara dua orang percaya (ayat 10-11),
(2) perceraian antara orang percaya dan orang yang tidak percaya di mana orang yang tidak percaya tidak ingin bercerai, dan
(3) perceraian antara orang percaya dan orang yang tidak percaya di mana orang yang tidak percaya ingin bercerai.
Kepada orang percaya Paulus menyatakan dengan tegas bahwa pasangan Kristen tidak boleh bercerai.
“Kepada orang-orang yang telah kawin aku — tidak, bukan aku, tetapi Tuhan — perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya.
Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya.” (7:10-11).
Dasar dari larangan Paulus adalah ajaran Kristus bahwa suami dan istri adalah satu daging dan apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.
Situasi kedua yang Paulus bahas adalah tentang pasangan percaya yang menikah dengan orang yang tidak percaya:
” Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia.
Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu.” (1 Kor. 7:12-13).
Karena Tuhan tidak memberikan instruksi mengenai pernikahan antara orang percaya dan orang yang tidak percaya, Paulus menggunakan otoritas kerasulan dan ilhamnya sendiri..
Dia memerintahkan prinsip, tidak ada perceraian.
Instruksi Paulus sangat jelas: jika orang yang tidak percaya tidak menginginkan perceraian, maka orang yang percaya tidak perlu memintanya.
Alasan yang diberikan untuk mempertahankan ikatan pernikahan adalah pengaruh pengudusan dari pasangan yang percaya kepada pasangan yang tidak percaya dan anak-anaknya:
“Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus.” (1 Kor. 15:14).
Situasi ketiga yang Paulus bahas adalah situasi pasangan yang tidak percaya yang ingin bercerai. Instruksinya dalam kasus ini adalah:
” Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera.” (1 Kor. 7:15).
Paulus tidak memerintahkan pasangan yang tidak percaya untuk berpisah. Sebaliknya, yang ingin bercerai adalah pasangan yang tidak percaya..
Oleh karena itu, Paulus menyarankan untuk membiarkan perpisahan itu berjalan dengan sendirinya dan menjadi fakta yang terjadi.
Orang percaya tidak perlu mengejar pasangan yang meninggalkannya dan bebas dari semua kewajiban pernikahan.
Seperti Yesus, rasul Paulus menegaskan prinsip bahwa pernikahan Kristen adalah sebuah ikatan yang mengikat dan permanen seumur hidup.
Jika perpisahan harus terjadi, Paulus hanya memberikan dua alternatif bagi pasangan yang percaya: berdamai satu sama lain atau tetap melajang.
Tidak ada komentar